Kalau di London ada Menara Big Ben yang menjadi ikon kota tersebut, Bukittinggi juga memiliki landmark yang sama namun tak serupa bernama Jam Gadang yang bisa travelers kunjungi dalam Paket Tour Padang. Jam Gadang ini memang cukup unik dengan penulisan angka 4-nya yang tidak biasa pada penulisan romawi “IV” namun justru ditulis dengan “IIII”. Selain itu sebagai mana namanya, Gadang yang berarti besar, ukuran jam ini pun cukup tinggi sehingga ia disebut pula sebagai Menara Big Ben Ala Indonesia. Usia Jam Gadang yang cukup lama menjadi daya tarik lainnya sehingga Jam Gadang ini pun menjadi sentra wisatawan sebelum akhirnya menjelajah ke sejumlah wisata lainnya di Bukittinggi. Yuk kita bahas satu persatu mengenai Jam Gadang ini, yang kita awali dari segi sejarahnya.
Ratu Belanda memberikan Jam Gadang ini kepada Controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi, Rook Maker, sebagai hadiah dan langsung didatangkan dari Rotterdam. Jam ini merupakan hasil rancangan dari Yazid Rajo Mangkuto dan selesai dibuat pada tahun 1926. Untuk peletakan batu pertamanya dilakukan oleh anak berusia 6 tahun yang merupakan anak dari Rook Maker. Secara keseluruhan pembuatan jam ini memakan biaya hingga 3.000 Gulden, yang tergolong besar pada masa itu. Hal ini dikarenakan jam tersebut memiliki denah dasar seluas 13 X 4 meter denga bagian dalam menara memiliki tinggi hingga 26 meter dengan beberapa tingkat. Pada tingkat teratas terdapat bandul yang sempat patag di tahun 2007karena serangan gempa. Karenanya sejak masa awal pendiriannya, Jam Gadang telah menarik minat banyak orang sehingga kemudian jam ini menjadi titik nol dari Kota Bukittinggi sekaligus markah tanah dari Bukittinggi. Sementara itu, Jam Gadang memiliki 4 jam yang berdiameter 80 cm dan digerakkan secara mekanik layaknya jam Big Ben di London. Lokasi dari mesin dan permukaan jam berada di satu tingkat di bawah tingkatan yang paling atas. Pada lonceng jam terdapat nama pabrik pembuatan jam tersebut, yakni Vortmann Relinghausen dengan Vortmann sebagai nama belakang dari sang pembuat jam, Benhard Vortmann. Relinghausen sendiri merupakan nama kota di Jerman yang menjadi tempat produksi dari mesin jam tersebut.
Pembuatan Jam Gadang sendiri juga cukup unik karena tidak menggunakan besi penyangga maupun adukan semen, melainkan dari campuran kapur, putih telur, dan pasir putih. Bentuk dari Jam Gadang ini pun sempat mengalami beberapa perubahan dari bentuk atapnya yang pada awalnya berupa patung ayam jantan yang menghadap ke arah timur di bagian atasnya. Kemudian di masa kependudukan Jepang, bentuk dari atap Jam Gadang ini diubah menyerupai atap kelenteng. Dan bentuk atap Jam Gadang saat ini yang berupa atap rumah adat Minangkabau yang dikenal dengan nama rumah gonjong, merupakan bentuk atap Jam Gadang yang diubah pasca kemerdekaan Indonesia. Terakhir, jam ini direnovasi di tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusa Indonesia dengan bekerja sama bersama Pemerintah Kota Bukittinggi dan juga Kedutaaan Besar Belanda di Indonesia.
Terkait dengan penulisan angka 4 di jam tersebut yang dianggap tidak wajar ada beberapa penjelasan yang mengiringnya. Ada yang menyebut bahwa angka tersebut sebagai penanda dari jumlah orang yang meninggal kala pembangunan jam tersebut. Ada pula yang menyebutkan bahwa angka tersebut berdasarkan permintaan dari King Louis XIV yang meminta angka 4 ditulis IIII demi keseimbangan dengan angka 8 yang ditulis denga VIII dan 12 yang ditulis dengan XII. Namun penjelasan yang lebih ilmiah menyebutkan bahwa penulisan angka Romawi juga mengalam beberapa kali perubahan. Pada Romawi Kuno angka 4 ditulis dengan IIII dan baru pada masa modern angka romawi untuk 4 adalah IV.
Kini Jam Gadang jga menjadi sentra kegiatan dari masyarakat Bukittinggi yang bisa diakses secara luas dan gratis. Travelers bisa berfoto dengan berbackgroundkan jam unik ini. Puas berfoto dan mengagumi arsitektur Jam Gadang, travelers bisa pergi ke belakang jam tersbeut dimana terdapat Pasar Atas Pasar Bawah yang bisa menjadi pilihan untuk berburu pakaian. Bangunan pasar ini terdiri dari tiga tingkat dengan kain sulaman khas Padang sebagai komoditi utama di sini. Harga yang ditawarkan cukup beragam, mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah yang bergantung dari jenis bahan dan kerumitan sulaman. Tak hanya berburu pakaian, namun traveles juga bisa mencicipi beragam kuliner khas Bukittinggi dan Padang seperti nasi kapau, karakaliang, karipik lado, dan juga dadiah. Jadi kalau belum berkesempatan buat datang ke Menara Big Ben di London, berkunjung ke Jam Gadang Padang juga tidak masalah bukan ;)