Etnis Tionghoa telah lama menjadi bagian dari sejarah perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Karenanya banyak sekali ditemukan kawasan perkampungan Cina atau yang juga dikenal dengan nama kawasan Pecinaan. Tal terkecuali di kawasan kota metropolitan Jakarta. Bahkan terdapat kampung cina yang memiliki usia tak kalah tua dengan Setu Babakan, kampung asli warga Betawi. Kawasan yang dikenal dengan nama Glodok Chinatown tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Daerah Glodok cukup populer di telinga warga ibukota. Hal ini karena di kawasan yang menjadi tempat tinggal etnis Tionghoa tersebut cukup terkenal sebagai sentra bisnis. Sejak zaman dahulu, kawasan Glodok memang sudah populer sebagai tempat transaksi ekonomi. Sejumlah bangunan tua yang hingga kini masih bisa disaksikan, menunjukkan kemegahan dan ramainya transaksi bisnis di kawasan Glodok. Bahkan pada masa lampau, kawasan Glodok juga menjadi temoat hiburan malam yang cukup populer namun terselubung dan ilegal. Keramaian kawasan Glodok bahkan telah dimulai sebelum kehadiran pemerintah Hindia Belanda. Kawasan Glodok tumbuh bersamaan dengan kampung tua yang lainnya yang ada di sepanjang aliran Sungai Ciliwung.
Etnis Tionghoa pun juga memiliki pengaruh dalam melawan penjajah. Bahkan di tahun 1740 mereka melawan Belanda dengan melakukan pemberontakan yang dikenal dengan nama Geger Pacinan. Ada sekitar 20.000 warga Tionghoa yang menadi korban. Bahkan karena peristiwa tersebut, aliran sungai Kali yang berada tak jauh dari kawasan Glodok berubah menjadi warna merah darah. Akibat peristiwa tersebut, untuk memudahkan pengawan terhadap etnis Tionghoa maka sejak saat itu Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut dengan Wijkenstelsel, dimana para etnis Tionghoa hanya boleh tinggal di kawasan Glodok dan dilarang tinggal di dalam tembok kota. Namun justru karena peraturan inilah maka kehidupan bisnis di kawasan Glodok semakin tumbuh dengan pesat.
Mengenai asal muasal namanya, ada berbagai versi cerita mengenai asal muasal nama Glodok. Ada yang mengatakan bahwa kata Glodok berasal dari bahasa Sund, “Golodok”, yang bermakna pintu masuk rumah. Hal ini berdasarkan dari keberadaan Pelabuhan Sunda Kelapa yang menjadi pintu masuk ke Kerajaan Sunda. Sementara itu versi yang lain, yang disebutkan dalam buku berjudul “Betawi: Queen from The East” kata Glodok berasal dari bunyi air “grojok-grojok”. Sebelumnya daerah Glodok memang menjadi tempat pemberhentian dan pemberian air minum kuda penarik beban. Air-air tersebut berada dalam bangunan persegi delapan yang berada di tengah-tengah halaman gedung Balai Kota atau yang kala itu disebut dengan Stadhuis. Dari pancuran air tersebut kemudian orang Jakarta mengenal daerah tersebut dengan nama “Pancoran” atau yang juga dikenal dengan nama Glodok Pancoran.
Sampai hari ini pun ada sejumlah gedung peninggalan masa lalu yang bisa di saksikan. Gedung-gedung ini seoalah menjadi bukti kemegahan dan kejayaan kawasan Glodok pada masa itu. Bahkan beberapa masih ada yang bisa digunakan hingga saat ini, misalnya saja bangunan yang terletak di Kali Besar Timur V. Bangunan berwarna merah tersebut dibangun oleh Gustaff Baron Van Imhoff, seorang Gubernur Jendral VOC yang menjadi salah satu tokoh penolakan pembantaian terhadap etnis Tionghoa. Gedung yang juga dikenal dengan nama Toko Merah tersebut ia bangun pada tahun 1730 dan pernah menjadi tempat pendidikan sekaligus asrama bagi para kadet di Akademi Maritim pada tahun 1743. Gedung ini juga pernah digunakan oleh Jacobson Van Den Berg sebagai kantor perusahaannya dan kini ditempati oleh PT Dharmaniaga.
Kemudian dibangunan yang kini menjadi SMAN 19 dahulunya adalah juga gedung sekolah yang menjadi tempat berdirinya sebuah Perhimpunan Tionghoa bernama Tionghoa Hwee Kuan. Organisasi ini pula yang kemudian mempelopori beridirnya sekolah Tiong Hoa Hak Tong lantaran tak ada kepedulian dari Belanda terhadap pendidikan anak-anak etnis Tionghoa. Selain SMAN 19, ada pula tempat sembahyang yang berdiri sejak dahulu, Kelenteng Kim Tek Ie (Jin de Yuan). Kelenteng ini dibangun oleh Luiteneant Tionghoa Guo Xun Guan (Kwee Hoen) pada tahun 1650 dan menjadi tempat pemujaan Dewi Kwan Im (Guan Yin). Meski sempat rusak dalam peristiwa Geger Pacinan, namun kelenteng ini berhasil dibangun kembali oleh Kapiten Tionghoa dan beliaulah yang memberi nama Kelenteng Kim Tek Ie yang bermakna Kelenteng Kebajikan Emas.
Tempat ibadah lain yang juga peninggalan Glodok masa lalu adalah Gereja Santa Maria Fatima yang dahulunya adalah rumah dari Luitenant der Chinezen bermarga Tjioe yang difungsikan sebagai gereja. Hanya pejabat dan keturunan Tionghoa saja yang bisa bersembahyang di sini karena hanya menggunakan Bahasa Mandarin. Namun kini gereja ini juga melayani jemaat umum dan menyediakan pelayanan Bahasa Indonesia. Ada pula gedung yang kini sudah tak beroperasi meski termasuk gedung penting pada masa itu, seperti Toko Obat Lay An Tong dan juga Kantor Harian Indonesia. Selain gedung, yang paling melekat dalam sejarah Glodok Chinatown adalah Kalibesar atau yang kala itu disebut dengan De Groot Kanaal. Pembangunan kanal-kanal ini dilakukan oleh pihak Belanda karena banyaknya rawa yang dimiliki oleh Batavia kala itu. Selain sebagai pencegah banjir, kanal-kanal ini juga menjadi alur pelabuhan untuk kapal-kapal kecil. Bahkan di Kalibesar juga kerap dijadikan tempat perlombaan sampan atau yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Peh Cun.
Mengunjungi kawasan Glodok memberikan kita gambaran bahwa setiap etnis yang tinggal di negeri ini memberikan peran penting bagi bangsa ini, tak terkecuali para etnis Cina. Di sini kita tidak hanya bisa belajar sejarah namun juga bisa berburu kuliner khas Cina seperti kue bulan, kue kura-kura, dan sejumlah kuliner lainnya yang banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional. Anda pun bisa berburu souvenir khas Tionghoa untuk menambah hiasan interior rumah anda.